Kami menjual bahan minyak kayu gaharu untuk disuling dari kalimantan ( agarwood dust ) . jika anda berminat dengan agarwood dust / serbuk gaharu, silahkan kontak kami. Kami menyediakan dalam jumlah besar.
Semakin kompeksnya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan aparat penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan, maka perlu diimbangi dengan pembenahan dan pembangunan sistem hukum pidana secara menyeluruh, yang meliputi pembangunan kultur, struktur dan substansi hukum pidana. Jelaslah bahwa kebijakan hukum pidana (Penal Policy) menduduki posisi yang sangat strategis dalam pengembangan hukum pidana modern23. Istilah kebijakan dalam hal ini ditransfer dari bahasa Inggris "Policy" atau dalam bahasa Belanda "Politiek" yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang¬bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara)24.
23
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, hlm. 256
24
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 23-24
Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah "kebijakan hukum pidana" dapat pula disebut dengan istilah "politik hukum pidana". Dalam kepustakaan asing istilah "politik hukum pidana" ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain "penal policy”, "criminal law policy" atau "strafrechtspolitiek”25. Berkaitan dengan itu dalam kamus besar Bahasa Indonesia memberikan arti terhadap istilah "politik" dalam 3 (tiga) batasan pengertian yaitu : 1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan (seperti sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan), 2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya), 3) cara bertidak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah) kebijakan26.
Mencermati pengertian tersebut, maka kebijakan hukum pidana dapat diartikan dengan cara bertindak atau kebijakan dari negara (pemerintah) untuk menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan27, memang perlu diakui bahwa banyak cara maupun usaha yang dapat dilakukan oleh setiap negara (pemerintah) dalam menanggulangi kejahatan. Salah satu upaya untuk dapat menanggulangi kejahatan, diantaranya melalui suatu kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana.
25 Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam PenanggulanganPenyalahgunaan Komputer, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1999.hlm.1026 Barda Nawawi Arief, Op.cit., hlm, 27
27 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka 1997, hlm 780
Selanjutnya menurut Sudarto "politik hukum" adalah :28
1 Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;
2 Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Dengan demikian kebijakan pidana (penal policy/criminal law policy/strafrechtspolitiek) dapat didefinisikan sebagai "usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. Kata "sesuai" dalam pengertian tersebut mengandung makna "baik" dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna29.
Dari definisi tersebut di atas sekilas nampak bahwa kebijakan hukum pidana identik dengan "pembaharuan perundang-undangan hukum pidana", namun sebenarnya pengertian kebijakan hukum pidana dalam arti sempit. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Hukum pidana sebagai suatu sistem hukum yang terdiri dari budaya (culture), struktur dan substansi hukum, sedangkan undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum. Dengan demikian pembaharuan hukum pidana tidak sekedar memperbaharui perundang¬undangan hukum pidana saja namun juga memperbaharui sektor-sektor lain
28 Barda Nawawi Arief, Op.cit., hlm. 27 29 Aloysius Wisnubroto, Op.cit.hlm. 11
seperti ilmu hukum pidana dan ide-ide hukum pidana melalui proses pendidikan dan pemikiran akademik30.
Bahkan sebenarnya ruang lingkup kebijakan hukum pidana lebih luas daripada pembaharuan hukum pidana. Hal ini disebabkan karena kebijakan hukum pidana dilaksanakaan melalui tahap-tahap konkretisasi/operasionalisasi/ fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari :
1 Kebijakan formulatif/legislatif, yaitu tahap perumusan/penyusunan hukum pidana ;
2 Kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana ;
3 Kebijakan administratif/eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana31. Dalam hal ini pembaharuan hukum pidana lebih banyak berkaitan dengan tahap perumusan atau pembuatan hukum pidana atau berkaitan dengan kebijakan formulatif. Jelaslah bahwa kebijakan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum pidana. Dalam hal ini Marc Ancel menyatakan bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan hukum pidana beserta sanksinya, suatu prosedur hukum pidana dan suatu mekanisme pelaksanaan pidana32. Dalam hal ini A.Mulder
mengemukakan bahwa kebijakan hukum pidana ialah garis kebijakan utuk menentukan :
30 Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm. 11 31 Barda Nawawi Arief. Op.cit.hlm. 29
32 Ibid. hlm. 28-29
1 seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau diperbaharui;
2 apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
3 cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan33. Dengan demikian kebijakan hukum pidana berkaitan dengan proses penegakan hukum (pidana) secara menyeluruh. Oleh sebab itu kebijakan hukum pidana diarahkan pada konkretisasi/operasionalisasi/ fungsionalisasi hukum pidana material (substansial), hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan
hukum pelaksanaan pidana. Selanjutnya kebijakan hukum pidana dapat dikaitkan dengan tindakan-tindakan:
1 bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana;
2 bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat;
3 bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana;
4 bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar34 Kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai bagian dari politik kriminal, pada dasarnya merupakan upaya yang rasional untuk menunjang dan mencapai "kesejahteraan sosial" (social welfare) dan "perlindungan sosial"
Jual Gaharu Bahan Minyak Gaharu Kalimantan (social defence). Dengan demikian, digunakannya hukum pidana sebagai salah satu sarana politik kriminal dan sarana politik sosial, dimaksudkan untuk
34 Aloysius Wisnubroto, Op.cit.hlm. 12
melindungi kepentingan dan nilai-nilai sosial tertentu dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial.
B. Politik Hukum Pidana Di Bidang Kehutanan Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan (hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri35. Pidana merupakan istilah yang lebih khusus dari “hukuman” yang menurut Sudarto bahwa “yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu36”. Kata “ tindak pidana” merupakan terjemahan dari “straffbaar feit”, Moeljatno memakai istilah “perbuatan pidana” oleh karena pengertian perbuatan lebih abstrak sehingga lebih luas dari pengertian tindak yang hanya menyatakan keadaan kongkrit, Tirtaamidjaja memakai istilah “pelanggaran pidana” dan Utrecht memakai istilah “peristiwa pidana”37. Lebih lanjut dikatakan bahwa pada umumnya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni delictum. Dalam kamus besar bahasa Indonesia delik artinya perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang¬undang tindak pidana.
35 Muladi dan Barda Nawawi Arief,op. cit, hlm.149 36 Ibid, hlm 2 37 Marpaung, Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Sinar Grafika , Jakarta, 1997, hlm.8
Unsur-unsur yang terdapat dam pengertian diatas yaitu : (1) ada suatu
perbuatan, (2) perbuatan itu dapat dikenakan hukuman, dan (3) perbuatan itu
melanggar Undang-Undang tindak pidana.
Pengertian ini konsisten dengan asas legalitas (nullum delictum) seperti yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahwa “tiada suatu perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu”. Dalam penjelasannya, Utrecht mengemukakan bahwa asas nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collective belangen) dan untuk itu hendaknya ditinggalkan untuk delik yang dilakukan terhadap kolektivitas (masyarakat), tetapi boleh dipertahankan mengenai delik yang dilakukan terhadap seorang individu38. Dengan demikian, asas retroaktif boleh diberlakukan untuk delik yang dilakukan terhadap masyarakat. Dalam Pasal 28 ayat (2) UUD 1`945 amandemen kedua, yang berbunyi :
“dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud senata¬mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai degan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Asas retroaktif dimungkinkan sepanjang mengenai kejahatan yang termasuk dalam extra ordinary crime, dalam hal ini kejahatan penebangan liar (illegal logging) sudah semestinya dikategorikan sebagai extra ordinary crime
38 Soesilo, KUHP Beserta Komentarnya, Politea, Bogor, 1995, hlm.27-28
karena kejahatan tersebut berdampak besar dan multi dimensional, budaya,
ekologi, ekonomi dan politik, yang mana dapat dilihat dari akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh penebangan liar (illegal logging) yang ditemukan dan dikaji
oleh berbagai lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah, nasional
maupun internasional.
Definisi hukum pidana menurut Sudikno Mertokusumo yaitu:
“hukum pidana adalah hukum yang menentukan perbuatan-pebuatan apa atau siapa sajakah yang dapat dipidana serta sanksi-sanksi apa sajakah yang tersedia. Hukum pidanan dibagi menjadi hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materil ini membuat perbuatan-perbuatan melanggar hukum yang disebut delik dan yang diancam dengan sanksi. Hukum pidana formil atau hukum acara pidana mengatur bagaimana caranya negara menerapkan sanksi pidana pada peristiwa kongkrit”39.
Menurut Prodjohamidjojo bahwa :40 “Hukum pidana ialah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1 Menentukan perbutan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya.
2 Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3 Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut”.
Jual Gaharu Bahan Minyak Gaharu Kalimantan Perbuatan yang menyalahi apa yang telah diatur dalam ketentuan pidana tersebut adalah perbuatan yang melawan hukum. Schaffmeiter et. al, yang diterjemahkan oleh JE.Sahetapy membagi sifat melawan hukum menjadi empat makna yaitu : a) sifat melawan hukum umum, b) sifat melawan hukum khusus, c) sifat melawan hukum formal dan d) sifat melawan hukum materil. Sifat melawn hukum formal berarti :” semua bagian yang tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana), sedangkan sifat
Semakin kompeksnya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan aparat penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan, maka perlu diimbangi dengan pembenahan dan pembangunan sistem hukum pidana secara menyeluruh, yang meliputi pembangunan kultur, struktur dan substansi hukum pidana. Jelaslah bahwa kebijakan hukum pidana (Penal Policy) menduduki posisi yang sangat strategis dalam pengembangan hukum pidana modern23. Istilah kebijakan dalam hal ini ditransfer dari bahasa Inggris "Policy" atau dalam bahasa Belanda "Politiek" yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang¬bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara)24.
23
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, hlm. 256
24
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 23-24
Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah "kebijakan hukum pidana" dapat pula disebut dengan istilah "politik hukum pidana". Dalam kepustakaan asing istilah "politik hukum pidana" ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain "penal policy”, "criminal law policy" atau "strafrechtspolitiek”25. Berkaitan dengan itu dalam kamus besar Bahasa Indonesia memberikan arti terhadap istilah "politik" dalam 3 (tiga) batasan pengertian yaitu : 1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan (seperti sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan), 2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya), 3) cara bertidak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah) kebijakan26.
Mencermati pengertian tersebut, maka kebijakan hukum pidana dapat diartikan dengan cara bertindak atau kebijakan dari negara (pemerintah) untuk menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan27, memang perlu diakui bahwa banyak cara maupun usaha yang dapat dilakukan oleh setiap negara (pemerintah) dalam menanggulangi kejahatan. Salah satu upaya untuk dapat menanggulangi kejahatan, diantaranya melalui suatu kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana.
25 Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam PenanggulanganPenyalahgunaan Komputer, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1999.hlm.1026 Barda Nawawi Arief, Op.cit., hlm, 27
27 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka 1997, hlm 780
Selanjutnya menurut Sudarto "politik hukum" adalah :28
1 Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;
2 Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Dengan demikian kebijakan pidana (penal policy/criminal law policy/strafrechtspolitiek) dapat didefinisikan sebagai "usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. Kata "sesuai" dalam pengertian tersebut mengandung makna "baik" dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna29.
Dari definisi tersebut di atas sekilas nampak bahwa kebijakan hukum pidana identik dengan "pembaharuan perundang-undangan hukum pidana", namun sebenarnya pengertian kebijakan hukum pidana dalam arti sempit. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Hukum pidana sebagai suatu sistem hukum yang terdiri dari budaya (culture), struktur dan substansi hukum, sedangkan undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum. Dengan demikian pembaharuan hukum pidana tidak sekedar memperbaharui perundang¬undangan hukum pidana saja namun juga memperbaharui sektor-sektor lain
28 Barda Nawawi Arief, Op.cit., hlm. 27 29 Aloysius Wisnubroto, Op.cit.hlm. 11
seperti ilmu hukum pidana dan ide-ide hukum pidana melalui proses pendidikan dan pemikiran akademik30.
Bahkan sebenarnya ruang lingkup kebijakan hukum pidana lebih luas daripada pembaharuan hukum pidana. Hal ini disebabkan karena kebijakan hukum pidana dilaksanakaan melalui tahap-tahap konkretisasi/operasionalisasi/ fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari :
1 Kebijakan formulatif/legislatif, yaitu tahap perumusan/penyusunan hukum pidana ;
2 Kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana ;
3 Kebijakan administratif/eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana31. Dalam hal ini pembaharuan hukum pidana lebih banyak berkaitan dengan tahap perumusan atau pembuatan hukum pidana atau berkaitan dengan kebijakan formulatif. Jelaslah bahwa kebijakan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum pidana. Dalam hal ini Marc Ancel menyatakan bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan hukum pidana beserta sanksinya, suatu prosedur hukum pidana dan suatu mekanisme pelaksanaan pidana32. Dalam hal ini A.Mulder
mengemukakan bahwa kebijakan hukum pidana ialah garis kebijakan utuk menentukan :
30 Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm. 11 31 Barda Nawawi Arief. Op.cit.hlm. 29
32 Ibid. hlm. 28-29
1 seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau diperbaharui;
2 apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
3 cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan33. Dengan demikian kebijakan hukum pidana berkaitan dengan proses penegakan hukum (pidana) secara menyeluruh. Oleh sebab itu kebijakan hukum pidana diarahkan pada konkretisasi/operasionalisasi/ fungsionalisasi hukum pidana material (substansial), hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan
hukum pelaksanaan pidana. Selanjutnya kebijakan hukum pidana dapat dikaitkan dengan tindakan-tindakan:
1 bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana;
2 bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat;
3 bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana;
4 bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar34 Kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai bagian dari politik kriminal, pada dasarnya merupakan upaya yang rasional untuk menunjang dan mencapai "kesejahteraan sosial" (social welfare) dan "perlindungan sosial"
Jual Gaharu Bahan Minyak Gaharu Kalimantan (social defence). Dengan demikian, digunakannya hukum pidana sebagai salah satu sarana politik kriminal dan sarana politik sosial, dimaksudkan untuk
34 Aloysius Wisnubroto, Op.cit.hlm. 12
melindungi kepentingan dan nilai-nilai sosial tertentu dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial.
B. Politik Hukum Pidana Di Bidang Kehutanan Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan (hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri35. Pidana merupakan istilah yang lebih khusus dari “hukuman” yang menurut Sudarto bahwa “yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu36”. Kata “ tindak pidana” merupakan terjemahan dari “straffbaar feit”, Moeljatno memakai istilah “perbuatan pidana” oleh karena pengertian perbuatan lebih abstrak sehingga lebih luas dari pengertian tindak yang hanya menyatakan keadaan kongkrit, Tirtaamidjaja memakai istilah “pelanggaran pidana” dan Utrecht memakai istilah “peristiwa pidana”37. Lebih lanjut dikatakan bahwa pada umumnya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni delictum. Dalam kamus besar bahasa Indonesia delik artinya perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang¬undang tindak pidana.
35 Muladi dan Barda Nawawi Arief,op. cit, hlm.149 36 Ibid, hlm 2 37 Marpaung, Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Sinar Grafika , Jakarta, 1997, hlm.8
Unsur-unsur yang terdapat dam pengertian diatas yaitu : (1) ada suatu
perbuatan, (2) perbuatan itu dapat dikenakan hukuman, dan (3) perbuatan itu
melanggar Undang-Undang tindak pidana.
Pengertian ini konsisten dengan asas legalitas (nullum delictum) seperti yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahwa “tiada suatu perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu”. Dalam penjelasannya, Utrecht mengemukakan bahwa asas nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collective belangen) dan untuk itu hendaknya ditinggalkan untuk delik yang dilakukan terhadap kolektivitas (masyarakat), tetapi boleh dipertahankan mengenai delik yang dilakukan terhadap seorang individu38. Dengan demikian, asas retroaktif boleh diberlakukan untuk delik yang dilakukan terhadap masyarakat. Dalam Pasal 28 ayat (2) UUD 1`945 amandemen kedua, yang berbunyi :
“dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud senata¬mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai degan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Asas retroaktif dimungkinkan sepanjang mengenai kejahatan yang termasuk dalam extra ordinary crime, dalam hal ini kejahatan penebangan liar (illegal logging) sudah semestinya dikategorikan sebagai extra ordinary crime
38 Soesilo, KUHP Beserta Komentarnya, Politea, Bogor, 1995, hlm.27-28
karena kejahatan tersebut berdampak besar dan multi dimensional, budaya,
ekologi, ekonomi dan politik, yang mana dapat dilihat dari akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh penebangan liar (illegal logging) yang ditemukan dan dikaji
oleh berbagai lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah, nasional
maupun internasional.
Definisi hukum pidana menurut Sudikno Mertokusumo yaitu:
“hukum pidana adalah hukum yang menentukan perbuatan-pebuatan apa atau siapa sajakah yang dapat dipidana serta sanksi-sanksi apa sajakah yang tersedia. Hukum pidanan dibagi menjadi hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materil ini membuat perbuatan-perbuatan melanggar hukum yang disebut delik dan yang diancam dengan sanksi. Hukum pidana formil atau hukum acara pidana mengatur bagaimana caranya negara menerapkan sanksi pidana pada peristiwa kongkrit”39.
Menurut Prodjohamidjojo bahwa :40 “Hukum pidana ialah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1 Menentukan perbutan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya.
2 Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3 Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut”.
Jual Gaharu Bahan Minyak Gaharu Kalimantan Perbuatan yang menyalahi apa yang telah diatur dalam ketentuan pidana tersebut adalah perbuatan yang melawan hukum. Schaffmeiter et. al, yang diterjemahkan oleh JE.Sahetapy membagi sifat melawan hukum menjadi empat makna yaitu : a) sifat melawan hukum umum, b) sifat melawan hukum khusus, c) sifat melawan hukum formal dan d) sifat melawan hukum materil. Sifat melawn hukum formal berarti :” semua bagian yang tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana), sedangkan sifat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar